Special Moment yang Terlupakan
Oleh:
Achmad Farchan*)
“Ayo....dibuka bukunya.”
“Ahmad, silahkan
baca halaman 58.”
“Dengarkan!,
jangan ngobrol sendiri.”
Kalimat-kalimat
yang bersifat intruksi tersebutlah, yang selalu terdengar ditelinga anak-anak “sekolahan”
setiap paginya. Bahkan, momen-momen spesial di awal pembelajaran-pun tak luput
dari kesan perintah yang membelenggu kebebasan siswa. Kebebasan untuk
menentukan, mengetahui dan mengembangkan kemampuannya. Keinginan untuk belajar
apa, dan bagaimana strategi atau cara dalam proses pembelajaran yang ingin di
alaminya, praktis tidak terwadahi.
Uniknya, praktek
pembelajaran tersebut tidak berubah. Meski guru dan mata pelajarannya-pun telah
berganti. Meminjam perkataan Albert Einsten, “jika awalnya tidak gila, maka
seterusnya akan biasa-biasa saja”. Hal inilah yang harus kita perhatikan
kembali baik bagi seorang guru, maupun calon guru. Bahwa menit-menit awal dalam
proses pembelajaran yang merupakan langkah untuk mengambil hak belajar siswa,
merupakan waktu yang sangat penting untuk satu atau dua jam pelajaran
berikutnya.
Tidak bisa
dipungkiri, bahwa dalam upaya menarik dan mengambil hak belajar siswa bukanlah
hal yang mudah. Berbagi cerita, pengalaman beberapa bulan yang lalu saat
melaksanakan program penelitian. Ketika harus masuk ke kelas dan mengambil alih
tugas guru dalam proses pembelajaran. Demi memperoleh data primer mengenai
penggunaan media pembelajaran interaktif terhadap siswa kelas lima Sekolah
Dasar (SD).
Mengejutkan dan
tidak pernah terbayang sebelumya. Pengetahuan dan materi mengenai desain dan
strategi pembelajaran, luntur tak berbekas dihadapan anak-anak siswa kelas lima
SD. Siswa asyik dengan dunianya sendiri, ngobrol, jalan-jalan di ruang kelas,
menjaili temannya, bernyanyi, main game
dan sejenisnya. Jelas, proses pembelajaran hari itu gagal total.
Semestinya tidak
ada hal yang perlu dikagetkan. Hal tersebut sudah menjadi perkara yang biasa
dalam keseharian siswa di ruang kelas di sekolah manapun, kecuali sekolahnya manusia. Siswa jenuh dengan
proses pembelajaran. Siswa tidak memahami mengapa ia harus belajar. Buat apa
dan apa dampaknya bagi dirinya setelah menjalani proses pembelajaran.
Hal ini, karena
siswa dipandang sebagai bahan mentah yang harus di olah untuk menjadi sesuatu. Dioperasikan
bak sebuah robot yang harus mengikuti segala intruksi dari operator. Mulai dari
kurikulum yang kaku, guru yang jauh dari humanis sampai pada orang tua yang
memaksakan kehendak terhadap anakya.
Dicetak atau
diharapakan untuk menjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh siswa bahkan tidak
dimengerti oleh dirinya sendiri. Jelas, hal ini telah membelenggu kreativitas,
rasa ingin tahu dan menjauhkan siswa dari konsep bahwa belajar itu asyik. Sebagai
upaya dalam membangun pengetahuan bagi dirinya. Apa yang ingin siswa pelajari
dan bagaimana strategi pembelajaran yang ingin dialaminya. Apa makna dan dampak
dari proses pembelajaran yang telah dialaminya. Praktis dalam dunia pendidikan
kita. Hal tersebut sampai kini tak terjawab. Bukankah pendidikan itu membebaskan?.
Dalam aliran
pendidikan teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern, bahwa manusia
dilahirkan, telah membawa potensi atau bakat. Potensi tersebut tidak akan
pernah berkembang tanpa sentuhan dan mengalami proses pendidikan. Maka, proses
pendidikan terutama disekolah harus memberikan makna kehidupan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar bagi siswa. “Apa manfaatnya bagiku?”.
Tak ingin gagal
dua kali dalam kesempatan yang sama. Belajar bersama dengan siswa-siswa hebat,
harus berhasil dan bermakna. Maka proses pembelajaran dirancang untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di tersebut. Proses pembelajaran diawali dengan memutar
lagu Laskar Pelangi melalui telepon
seluler, sontak seluruh siswa tersenyum terbuka, bersorak dan turut bernyanyi. Special moment diawal pembelajaran telah
diraih oleh siswa. Hal ini membuat siswa penasaran karena rasa ingin tahunya.
Hari ini akan belajar apa, setelah ini apa yang kita lakukan.
Pembelajaran
berbasis proyek, inilah yang akan dilakukan siswa. Dengan memberi pemahaman
mengenai persoalan yang ada disekelilingnya. Siswa bebas menganalisis penyebab
dari persoalan tersebut. Melalui diskusi dengan seluruh isi kelas, keluar
kelas, masuk kelas lagi, bertanya dengan warga sekolah. Demi mencari solusi
untuk dipresentasikan di depan kelas.
Jawaban-jawaban
yang mengemuka-pun, sesuai dengan pola perkembangan kecerdasan anak kelas lima
SD. Penuh dengan gaya imajinasi, menyajikan tokoh-tokoh idolanya dan
seterusnya. Setidaknya inilah sedikit kebebasan belajar siswa yang harus
terpenuhi. Memberikan makna bagi siswa
bahwa dirinya diakui keberadaanya. Siswa mampu membangun pengetahuan bagi
dirinya. Menemukan solusi sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Momen spesial
yang terpenting, dalam imajinasinya ia merasa telah mampu melakukan sesuatu dan
mempengaruhi terhadap lingkungannya.
Special moment,
besok kita belajar apa. Kita menemukan apa. Sekiranya momen-momen serupa, kini
telah terlupakan. Anak-anak “sekolahan” telah rindu, akan dirinya.
*)
Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar