Selasa, 19 Februari 2013

Spesial Moment yang Terlupakan


Special Moment  yang Terlupakan
Oleh: Achmad Farchan*)

 “Ayo....dibuka bukunya.”
“Ahmad, silahkan baca halaman 58.”
“Dengarkan!, jangan ngobrol sendiri.”
Kalimat-kalimat yang bersifat intruksi tersebutlah, yang selalu terdengar ditelinga anak-anak “sekolahan” setiap paginya. Bahkan, momen-momen spesial di awal pembelajaran-pun tak luput dari kesan perintah yang membelenggu kebebasan siswa. Kebebasan untuk menentukan, mengetahui dan mengembangkan kemampuannya. Keinginan untuk belajar apa, dan bagaimana strategi atau cara dalam proses pembelajaran yang ingin di alaminya, praktis tidak terwadahi.
Uniknya, praktek pembelajaran tersebut tidak berubah. Meski guru dan mata pelajarannya-pun telah berganti. Meminjam perkataan Albert Einsten, “jika awalnya tidak gila, maka seterusnya akan biasa-biasa saja”. Hal inilah yang harus kita perhatikan kembali baik bagi seorang guru, maupun calon guru. Bahwa menit-menit awal dalam proses pembelajaran yang merupakan langkah untuk mengambil hak belajar siswa, merupakan waktu yang sangat penting untuk satu atau dua jam pelajaran berikutnya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam upaya menarik dan mengambil hak belajar siswa bukanlah hal yang mudah. Berbagi cerita, pengalaman beberapa bulan yang lalu saat melaksanakan program penelitian. Ketika harus masuk ke kelas dan mengambil alih tugas guru dalam proses pembelajaran. Demi memperoleh data primer mengenai penggunaan media pembelajaran interaktif terhadap siswa kelas lima Sekolah Dasar (SD).
Mengejutkan dan tidak pernah terbayang sebelumya. Pengetahuan dan materi mengenai desain dan strategi pembelajaran, luntur tak berbekas dihadapan anak-anak siswa kelas lima SD. Siswa asyik dengan dunianya sendiri, ngobrol, jalan-jalan di ruang kelas, menjaili temannya, bernyanyi, main game dan sejenisnya. Jelas, proses pembelajaran hari itu gagal total.
Semestinya tidak ada hal yang perlu dikagetkan. Hal tersebut sudah menjadi perkara yang biasa dalam keseharian siswa di ruang kelas di sekolah manapun, kecuali sekolahnya manusia. Siswa jenuh dengan proses pembelajaran. Siswa tidak memahami mengapa ia harus belajar. Buat apa dan apa dampaknya bagi dirinya setelah menjalani proses pembelajaran.
Hal ini, karena siswa dipandang sebagai bahan mentah yang harus di olah untuk menjadi sesuatu. Dioperasikan bak sebuah robot yang harus mengikuti segala intruksi dari operator. Mulai dari kurikulum yang kaku, guru yang jauh dari humanis sampai pada orang tua yang memaksakan kehendak terhadap anakya.
Dicetak atau diharapakan untuk menjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh siswa bahkan tidak dimengerti oleh dirinya sendiri. Jelas, hal ini telah membelenggu kreativitas, rasa ingin tahu dan menjauhkan siswa dari konsep bahwa belajar itu asyik. Sebagai upaya dalam membangun pengetahuan bagi dirinya. Apa yang ingin siswa pelajari dan bagaimana strategi pembelajaran yang ingin dialaminya. Apa makna dan dampak dari proses pembelajaran yang telah dialaminya. Praktis dalam dunia pendidikan kita. Hal tersebut sampai kini tak terjawab. Bukankah pendidikan itu membebaskan?.
Dalam aliran pendidikan teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern, bahwa manusia dilahirkan, telah membawa potensi atau bakat. Potensi tersebut tidak akan pernah berkembang tanpa sentuhan dan mengalami proses pendidikan. Maka, proses pendidikan terutama disekolah harus memberikan makna kehidupan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar bagi siswa. “Apa manfaatnya bagiku?”.
Tak ingin gagal dua kali dalam kesempatan yang sama. Belajar bersama dengan siswa-siswa hebat, harus berhasil dan bermakna. Maka proses pembelajaran dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di tersebut. Proses pembelajaran diawali dengan memutar lagu Laskar Pelangi melalui telepon seluler, sontak seluruh siswa tersenyum terbuka, bersorak dan turut bernyanyi. Special moment diawal pembelajaran telah diraih oleh siswa. Hal ini membuat siswa penasaran karena rasa ingin tahunya. Hari ini akan belajar apa, setelah ini apa yang kita lakukan.
Pembelajaran berbasis proyek, inilah yang akan dilakukan siswa. Dengan memberi pemahaman mengenai persoalan yang ada disekelilingnya. Siswa bebas menganalisis penyebab dari persoalan tersebut. Melalui diskusi dengan seluruh isi kelas, keluar kelas, masuk kelas lagi, bertanya dengan warga sekolah. Demi mencari solusi untuk dipresentasikan di depan kelas.
Jawaban-jawaban yang mengemuka-pun, sesuai dengan pola perkembangan kecerdasan anak kelas lima SD. Penuh dengan gaya imajinasi, menyajikan tokoh-tokoh idolanya dan seterusnya. Setidaknya inilah sedikit kebebasan belajar siswa yang harus terpenuhi.  Memberikan makna bagi siswa bahwa dirinya diakui keberadaanya. Siswa mampu membangun pengetahuan bagi dirinya. Menemukan solusi sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Momen spesial yang terpenting, dalam imajinasinya ia merasa telah mampu melakukan sesuatu dan mempengaruhi terhadap lingkungannya.
Special moment, besok kita belajar apa. Kita menemukan apa. Sekiranya momen-momen serupa, kini telah terlupakan. Anak-anak “sekolahan” telah rindu, akan dirinya.

*) Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar