Kurikulum
2013: Untung Rugi untuk Siapa?
Oleh: Departemen
Kajian Strategis*
Dunia pendidikan kita terus berbenah diri dan kian
mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya tuntutan demi menjawab
kebutuhan masyarakat yang makin kompleks. Dalam proses perkembangannya tidak
akan lepas dari sebuah permasalahan klasik yang menunggu untuk segera
diselesaikan termasuk solusi yang tidak popular.
Wakil Presiden Boediono mengakui bahwa kita memang
belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan yang dapat
dijadikan kompas bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah
Air (Kompas, 29 Agustus 2012).
Seakan
menjawab persoalan, kementrian pendidikan dan kebudayaan segera membentuk tim
ahli untuk mengevaluasi kurikulum nasional mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga
menengah.
Hal ini jelas menyampingkan persoalan subtansi dan arah pendidikan. Dengan demikian kiranya
perubahan metode pembelajaran jauh lebih strategis dan urgen daripada
kurikulum.
Meskipun kenyataan ini disangkal melalui pers staf ahli
Mendikbud Prof. Kacung Marijan bahwa, perubahan kurikulum yang akan
dilaksanakan itu bukan karena tanpa alasan dan prosesnya sudah lama sejak tahun 2010 dan kepentingannya sekarang
menjadi diperkuat lagi (Antara, 2 Oktober 2012).
Pemerintah berkukuh melaksanakan Kurikulum 2013 pada
Juli mendatang seolah ada keharusan yang mendesak. Padahal, ”barangnya” masih
kontroversial, perangkat pelaksanaannya pun belumlah siap.
”Tidak bisa ditunda dan harus dimulai tahun ajaran
ini. Jika kita menunda, taruhannya besar terhadap masa depan generasi bangsa,”
kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Implementasi Kurikulum 2013, menurut Mendikbud,
penting dan genting terkait bonus demografi pada 2010-2035. Generasi muda
Indonesia perlu disiapkan dalam kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
Sikap pemerintah itu terasa berlebihan karena
sejatinya pengaruh perubahan Kurikulum 2013 tidaklah sedahsyat yang
dibayangkan. Asumsi-asumsi teoritisnya memang muluk, tetapi yang riil berubah
dan mudah dilaksanakan hanya pengurangan jumlah mata pelajaran dan penambahan durasi
pembelajaran di sekolah.
Sementara pendekatan tematik dan integratif bukanlah
perkara baru, tetapi sekadar penegasan yang malah terkesan sebagai dalih
ketiadaan IPA dan IPS dalam lis mata pelajaran SD. Gagasan tematik dan
integratif tidak dirancang untuk pembaruan model pembelajaran siswa aktif
(active learning) yang menyeluruh bagi semua mata pelajaran di setiap jenjang
persekolahan seperti dikehendaki Undang-undang dalam delapan standar proses
pendidikan.
Penerapan Kurikulum 2013 pada Juli atau kapan pun
dalam format yang ada tampaknya tidak menimbulkan efek kualitatif yang
signifikan bagi kemajuan bangsa. Tak ada faktor yang mendukung perubahan ke
arah itu, apalagi jika berbagai kerancuan kompetensi inti dan dasar dengan
materi dibiarkan kabur, dan kurikulum dilaksanakan sebelum matang. Selain itu,
posisi kurikulum dalam suatu sistem pendidikan berada pada level operasional
yang jalannya ditentukan oleh fondasi, visi, dan substansi pendidikan, yang di
negeri ini justru bermasalah (Abduhzen M, Kompas 21 Februari 2013).
Era Profesionalisme Guru
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
telah memberikan landasan kuantitatif bagi peningkatan mutu guru, yaitu
kualifikasi akademik, sertifikat pendidik, dan empat kompetensi: pedagogis,
profesional, sosial, dan kepribadian. Kompetensi pedagogis adalah kemampuan
mengelola pembelajaran dengan mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Peningkatan profesionalisme guru seyogianya ditandai berbagai aktivitas
pembaruan metode dan kinerja guru.
Pembaruan metode pembelajaran dibutuhkan dan
seharusnya dilakukan sejak lama dalam pendidikan kita. Pertama, karena adanya
”revolusi Copernican” dalam definisi pendidikan dari pembelajaran berpusat pada
guru (teacher-centered) seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ke berpusat pada murid
(student-centered) menurut UU No 20 Tahun 2003 sebagai revisi UU Sisdiknas.
Patut dicermati bersama, bahwa pembalikan paradigma
ini bukan satu kelatahan, melainkan didasari pergeseran konsep interaksi
belajar mengajar dari ”mengajar” (teaching) ke ”pembelajaran” (learning).
Perkembangan ini selanjutnya menuntut perubahan cara pandang, pendekatan, dan
metode pembelajaran yang lebih partisipatif dan dialogis. Jawabannya adalah pendekatan
tematik-integratif sesungguhnya sesuai dengan paradigma baru ini, namun sayangnya
tidak dielaborasi secara jelas hingga model pembelajaran.
Maka,
selayaknya perlu dipahami bahwa, kurikulum pendidikan kita mau dibenahi bahkan
diganti seribu kalipun. Namun tanpa diikuti pembenahan profesionalisme
guru dan perubahan kesadaran. Hanya
melihat potensi anak-anak sebagai robot yang hanya mampu dijejali pengetahuan
yang berujung pada pengkhianatan pedagogik tetap akan menjadi
sebuah kesia-siaan.
*)
BEM
FIP UNNES 2013