BEM
FIP: 13 Keruwetan dalam Kurikulum 2013
Oleh: Departemen Kajian
Strategis*)
Kurikulum merupakan sesuatu
yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu direvisi secara
berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman
(Nasution, 2001: 121).
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 Ayat 19, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Dengan demikian kurikulum haruslah
disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap
perkembangan peserta didik dan kesesuainnya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional, tuntutan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kesenian yang disesuaikan dengan jenis dan jenjang
masing-masing satuan pendidikan.
Realitasnya, perombakan kurikulum
pendidikan kita, sampai saat ini, tercatat sepuluh kurikulum pernah
dikembangkan dan dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional. Menyusul yang
kesebelas sebentar lagi diterapkan kurikulum 2013. Dogma mentri ganti kurikulum
ganti seakan kenyataan ini menjadi sebuah pembenaran.
Kurikulum pendidikan yang saat ini
berubah-ubah menjadi kebingungan tersendiri bagi pendidik maupun peserta didik.
Siswa seakan-akan menjadi kelinci percobaan untuk menemukan kurikulum mana yang
pengaruhnya lebih besar terhadap mutu pendidikan. Jadi tak heran bila dengan
argumentasi yang sederhana menyangkut bonus demografi yang dimaknai secara
muluk, justru hal ini mengabaikan persoalan kekinian.
Secara konseptual, sekurang-kurangnya
kurikulum pendidikan masa depan perlu mangakomodasikan secara sistematis
dimensi-dimensi pengembangan peserta didik. Pertama,
pengembangan individu (dimensi pribadi) yaitu kesadaran beragama, kesehatan
jasmani, kesehatan mental, integritas moral, pengajaran kultural dan rekreasi.
Kedua,
pengembangan cara berpikir (dimensi kecerdasan) yaitu penguasaan pengetahuan keterampilan
untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.
Ketiga,
penyebaran nilai-nilai civic dan moral bangsa (dimensi sosial), yaitu kerjasama,
toleransi, hak dan kewajiban civic, kesetiaan, patriotisme dan
solidaritas nasional.
Keempat,
pemenuhan kebutuhan sosial yaitu informasi dan bimbingan, latihan dan
penempatan, dan ketrampilan mengerjakan sesuatu sendiri.
Menyoal Kurikulum 2013
Dunia
pendidikan kita terus berbenah diri dan kian mengalami perkembangan seiring
dengan berkembangnya tuntutan demi menjawab kebutuhan masyarakat yang makin
kompleks. Dalam proses perkembangannya tidak akan lepas dari sebuah
permasalahan klasik yang menunggu untuk segera diselesaikan termasuk solusi
yang tidak popular.
Wakil Presiden Boediono mengakui
bahwa kita memang belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan
yang dapat dijadikan kompas bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif
pendidikan di Tanah Air (Kompas, 29 Agustus 2012).
Seakan
menjawab persoalan, kementrian pendidikan dan kebudayaan segera membentuk tim
ahli untuk mengevaluasi kurikulum nasional mulai dari jenjang pendidikan dasar
hingga menengah. Hal ini jelas menyampingkan
persoalan subtansi dan arah pendidikan. Pemerintah cenderung parsial dalam
menyikapi persoalan pendidikan.
Hasil Kajian Bersama
Jumat (22/3), lembaga kemahasiswaan
Universitas Negeri Semarang yang dimotori oleh Departemen Kajian Strategis BEM
FIP 2013 menyelenggarakan kajian bersama bertajuk “Kurikulum 2013: Untung Rugi
untuk Siapa?”. Berikut hasil kajian yang mengemuka; Pertama, sampai saat ini dokumen kurikulum masih berubah-ubah,
dokumen terbaru adalah versi 3-4 Maret 2013 sebatas memuat organisasi kompetensi,
tujuan satuan pendidikan, struktur kurikulum, kompetensi inti dan kompetensi
dasar serta pembelajaran tematik integratif. Belum mengarah pada silabus maupun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Kedua, implementasi
Kurikulum 2013, menurut Mendikbud, penting dan genting terkait bonus demografi
pada 2010-2035. Hal ini menunjukkan sikap pemerintah yang mengabaikan persoalan
kekinian. Persoalan klasik pendidikan kita masih menjadi PR besar yang harus
diselesaikan ketimbang mengubah kurikulum. Mulai dari profesionalisme guru,
sarana dan prasarana pendidikan, hingga sistem evaluasi yang kini masih menuai
perdebatan.
Ketiga, subtansi
kurikulum tidak berubah. Hanya yang terjadi adalah pengurangan jumlah mata
pelajaran dan penambahan durasi pembelajaran di sekolah.
Keempat, kurikulum 2013 menumpulkan daya
kreatif guru. Guru bertindak sebagai operator bak sebuah robot. Hal ini karena
silabus dan RPP dijanjikan disusun oleh pemerintah. Asumsi bagi pemerintah,
karena pada kurikulum KTSP guru tidak mampu membuat silabus dan RPP lantas
dibuatkan oleh pemerintah melalui kurikulum 2013. Semestinya yang dibutuhkan
adalah pelatihan dan pendampingan kepada guru-guru, bukan memberikan barang
jadi.
Kelima,
metode itegratif pada jenjang Sekolah Dasar (SD) terlalu memaksa. Hal ini salah
satunya nampak pada penyatuan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan IPA kelas dua
(II). Pada kompetensi dasar yaitu Menunjukkan perilaku
jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam
berinteraksi dengan keluarga, teman, guru, dan tetangganya. Kemudian kompetensi
inti salah satunya adalah Memiliki kepedulian terhadap gaya, gerak, energi panas,
bunyi, cahaya, dan energi alternatif melalui pemanfaatan bahasa Indonesia.
Lebih khusus pada materi cahaya mungkin bisa dimasukkan dalam tema pelangi,
lalu bagimana menjelaskan teori pembiasan, pemantulan dll. Jelas ini akan
mengalami pendangkalan materi sains yang hendak disampaikan.
Keenam, disamping metode integratif yang
dipaksakan dan mengalami pendangkalan materi juga materi sains konteksnya
menjadi suci. Hal ini jelas memangkas daya kritis siswa untuk menguji lebih
jauh mengenai kebenaran sebuah teori yang telah ada. Salah satunya lihat
kompetensi inti mata pelajaran kimia kelas sepuluh (X) yaitu Menyadari
keteraturan dan kompleksitas konfigurasi elektron dalam atom sebagai wujud
kebesaran Tuhan YME. Maka, tidak mengherankan bila nanti jawaban siswa pada
pertanyaan kompleksitas sains dijawab dengan tegas, “karena takdir”.
Ketujuh, guru sebagai ujung tombak
suksesnya kurikulum masih alami kebingungan. Sejauh ini yang ada hanyalah
sosialisasi mengenai srtuktur kurikulum belum mengarah pada pelaksanaan teknis
di lapangan. Pemerintah berjanji akan menyelenggarakan pelatihan dimusim
liburan dengan konsep master teacher. Hal ini tidak ada jaminan tanpa terjadi
distorsi terhadap hasil pelatihan di tingkat pusat sampai daerah.
Kedelapan,
sistem penjurusan berubah
menjadi peminatan. Mekanisme peminatan siswa Kelas X masih
belum ditetapkan pelaksanaannya. Jika hanya mengandalkan nilai ujian nasional
di jenjang SMP, maka tidak cukup dipakai sebagai dasar untuk menentukan
peminatan siswa. Hal ini karena proses peminatan yang tepat, tidak sekadar asal
diminati siswa, namun juga harus dengan ukuran yang jelas.
Kesembilan, mata pelajaran bahasa jawa kembali diserahkan kedaerah otonom
masing-masing diintegrasikan kedalam mata pelajaran seni budaya dan prakarya.
Kesepuluh, mata
pelajaran TIK dihapuskan dan dijadikan media seluruh mata pelajaran.
Kesebelas, belum dirumuskannya metode
evaluasi yang tepat untuk mengetahui kemampuan siswa terhadap hasil belajar. Terutama kebingungan “nasib” Ujian
Nasional.
Keduabelas, perubahan kurikulum diluar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM).
Ketigabelas, proyek perumusan kurikulum 2013 mengalami kenaikan anggaran yang
signifikan. Anggaran pertama diumumkan Rp 684 miliar, selanjutnya naik jadi Rp
1,4 triliun, dan terakhir jadi Rp 2,49 triliun. Hal ini rawan terjadinya
korupsi.
Berdasar pada ketigabelas fakta di atas, akankah kurikulum 2013 mampu
menjawab persoalan masa depan bangsa...?
*) Bernaung di BEM FIP Unnes 2013