Pages - Menu

Rabu, 10 April 2013

BEM FIP: 13 Keruwetan dalam Kurikulum 2013

BEM FIP: 13 Keruwetan dalam Kurikulum 2013
Oleh: Departemen Kajian Strategis*)

Kurikulum merupakan sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu direvisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman (Nasution, 2001: 121).
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 19, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
            Dengan demikian kurikulum haruslah disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuainnya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, tuntutan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian yang disesuaikan dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Realitasnya, perombakan kurikulum pendidikan kita, sampai saat ini, tercatat sepuluh kurikulum pernah dikembangkan dan dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional. Menyusul yang kesebelas sebentar lagi diterapkan kurikulum 2013. Dogma mentri ganti kurikulum ganti seakan kenyataan ini menjadi sebuah pembenaran.
Kurikulum pendidikan yang saat ini berubah-ubah menjadi kebingungan tersendiri bagi pendidik maupun peserta didik. Siswa seakan-akan menjadi kelinci percobaan untuk menemukan kurikulum mana yang pengaruhnya lebih besar terhadap mutu pendidikan. Jadi tak heran bila dengan argumentasi yang sederhana menyangkut bonus demografi yang dimaknai secara muluk, justru hal ini mengabaikan persoalan kekinian.
Secara konseptual, sekurang-kurangnya kurikulum pendidikan masa depan perlu mangakomodasikan secara sistematis dimensi-dimensi pengembangan peserta didik. Pertama, pengembangan individu (dimensi pribadi) yaitu kesadaran beragama, kesehatan jasmani, kesehatan mental, integritas moral, pengajaran kultural dan rekreasi.
Kedua, pengembangan cara berpikir (dimensi kecerdasan) yaitu penguasaan pengetahuan keterampilan untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.
Ketiga, penyebaran nilai-nilai civic dan moral bangsa (dimensi sosial), yaitu kerjasama, toleransi, hak dan kewajiban civic, kesetiaan, patriotisme dan solidaritas nasional.
Keempat, pemenuhan kebutuhan sosial yaitu informasi dan bimbingan, latihan dan penempatan, dan ketrampilan mengerjakan sesuatu sendiri.
Menyoal Kurikulum 2013
Dunia pendidikan kita terus berbenah diri dan kian mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya tuntutan demi menjawab kebutuhan masyarakat yang makin kompleks. Dalam proses perkembangannya tidak akan lepas dari sebuah permasalahan klasik yang menunggu untuk segera diselesaikan termasuk solusi yang tidak popular.
Wakil Presiden Boediono mengakui bahwa kita memang belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan yang dapat dijadikan kompas bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah Air (Kompas, 29 Agustus 2012).
Seakan menjawab persoalan, kementrian pendidikan dan kebudayaan segera membentuk tim ahli untuk mengevaluasi kurikulum nasional mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini jelas menyampingkan persoalan subtansi dan arah pendidikan. Pemerintah cenderung parsial dalam menyikapi persoalan pendidikan.
Hasil Kajian Bersama
Jumat (22/3), lembaga kemahasiswaan Universitas Negeri Semarang yang dimotori oleh Departemen Kajian Strategis BEM FIP 2013 menyelenggarakan kajian bersama bertajuk “Kurikulum 2013: Untung Rugi untuk Siapa?”. Berikut hasil kajian yang mengemuka; Pertama, sampai saat ini dokumen kurikulum masih berubah-ubah, dokumen terbaru adalah versi 3-4 Maret 2013 sebatas memuat organisasi kompetensi, tujuan satuan pendidikan, struktur kurikulum, kompetensi inti dan kompetensi dasar serta pembelajaran tematik integratif. Belum mengarah pada silabus maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Kedua, implementasi Kurikulum 2013, menurut Mendikbud, penting dan genting terkait bonus demografi pada 2010-2035. Hal ini menunjukkan sikap pemerintah yang mengabaikan persoalan kekinian. Persoalan klasik pendidikan kita masih menjadi PR besar yang harus diselesaikan ketimbang mengubah kurikulum. Mulai dari profesionalisme guru, sarana dan prasarana pendidikan, hingga sistem evaluasi yang kini masih menuai perdebatan.
Ketiga, subtansi kurikulum tidak berubah. Hanya yang terjadi adalah pengurangan jumlah mata pelajaran dan penambahan durasi pembelajaran di sekolah.
            Keempat, kurikulum 2013 menumpulkan daya kreatif guru. Guru bertindak sebagai operator bak sebuah robot. Hal ini karena silabus dan RPP dijanjikan disusun oleh pemerintah. Asumsi bagi pemerintah, karena pada kurikulum KTSP guru tidak mampu membuat silabus dan RPP lantas dibuatkan oleh pemerintah melalui kurikulum 2013. Semestinya yang dibutuhkan adalah pelatihan dan pendampingan kepada guru-guru, bukan memberikan barang jadi.
            Kelima, metode itegratif pada jenjang Sekolah Dasar (SD) terlalu memaksa. Hal ini salah satunya nampak pada penyatuan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan IPA kelas dua (II). Pada kompetensi dasar yaitu Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, guru, dan tetangganya. Kemudian kompetensi inti salah satunya adalah Memiliki kepedulian terhadap gaya, gerak, energi panas, bunyi, cahaya, dan energi alternatif melalui pemanfaatan bahasa Indonesia. Lebih khusus pada materi cahaya mungkin bisa dimasukkan dalam tema pelangi, lalu bagimana menjelaskan teori pembiasan, pemantulan dll. Jelas ini akan mengalami pendangkalan materi sains yang hendak disampaikan.
            Keenam, disamping metode integratif yang dipaksakan dan mengalami pendangkalan materi juga materi sains konteksnya menjadi suci. Hal ini jelas memangkas daya kritis siswa untuk menguji lebih jauh mengenai kebenaran sebuah teori yang telah ada. Salah satunya lihat kompetensi inti mata pelajaran kimia kelas sepuluh (X) yaitu Menyadari keteraturan dan kompleksitas konfigurasi elektron dalam atom sebagai wujud kebesaran Tuhan YME. Maka, tidak mengherankan bila nanti jawaban siswa pada pertanyaan kompleksitas sains dijawab dengan tegas, “karena takdir”.
            Ketujuh, guru sebagai ujung tombak suksesnya kurikulum masih alami kebingungan. Sejauh ini yang ada hanyalah sosialisasi mengenai srtuktur kurikulum belum mengarah pada pelaksanaan teknis di lapangan. Pemerintah berjanji akan menyelenggarakan pelatihan dimusim liburan dengan konsep master teacher. Hal ini tidak ada jaminan tanpa terjadi distorsi terhadap hasil pelatihan di tingkat pusat sampai daerah.
Kedelapan, sistem penjurusan berubah menjadi peminatan. Mekanisme peminatan siswa Kelas X masih belum ditetapkan pelaksanaannya. Jika hanya mengandalkan nilai ujian nasional di jenjang SMP, maka tidak cukup dipakai sebagai dasar untuk menentukan peminatan siswa. Hal ini karena proses peminatan yang tepat, tidak sekadar asal diminati siswa, namun juga harus dengan ukuran yang jelas.
Kesembilan, mata pelajaran bahasa jawa kembali diserahkan kedaerah otonom masing-masing diintegrasikan kedalam mata pelajaran seni budaya dan prakarya.
Kesepuluh, mata pelajaran TIK dihapuskan dan dijadikan media seluruh mata pelajaran.
Kesebelas, belum dirumuskannya metode evaluasi yang tepat untuk mengetahui kemampuan siswa terhadap hasil belajar. Terutama kebingungan “nasib” Ujian Nasional.
Keduabelas, perubahan kurikulum diluar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM).
Ketigabelas, proyek perumusan kurikulum 2013 mengalami kenaikan anggaran yang signifikan. Anggaran pertama diumumkan Rp 684 miliar, selanjutnya naik jadi Rp 1,4 triliun, dan terakhir jadi Rp 2,49 triliun. Hal ini rawan terjadinya korupsi.
Berdasar pada ketigabelas fakta di atas, akankah kurikulum 2013 mampu menjawab persoalan masa depan bangsa...?

*) Bernaung di BEM FIP Unnes 2013

           



Minggu, 31 Maret 2013

Kurikulum 2013: Untung Rugi untuk Siapa?



Kurikulum 2013: Untung Rugi untuk Siapa?

Oleh: Departemen Kajian Strategis*


http://assets.kompas.com/data/photo/2013/02/21/1033179p.jpgDunia pendidikan kita terus berbenah diri dan kian mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya tuntutan demi menjawab kebutuhan masyarakat yang makin kompleks. Dalam proses perkembangannya tidak akan lepas dari sebuah permasalahan klasik yang menunggu untuk segera diselesaikan termasuk solusi yang tidak popular.
Wakil Presiden Boediono mengakui bahwa kita memang belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan yang dapat dijadikan kompas bagi begitu banyak kegiatan dan inisiatif pendidikan di Tanah Air (Kompas, 29 Agustus 2012).
Seakan menjawab persoalan, kementrian pendidikan dan kebudayaan segera membentuk tim ahli untuk mengevaluasi kurikulum nasional mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini jelas menyampingkan persoalan subtansi dan arah pendidikan. Dengan demikian kiranya perubahan metode pembelajaran jauh lebih strategis dan urgen daripada kurikulum.
Meskipun kenyataan ini disangkal melalui pers staf ahli Mendikbud Prof. Kacung Marijan bahwa, perubahan kurikulum yang akan dilaksanakan itu bukan karena tanpa alasan dan  prosesnya sudah lama sejak tahun 2010 dan kepentingannya sekarang menjadi diperkuat lagi (Antara, 2 Oktober 2012).
Pemerintah berkukuh melaksanakan Kurikulum 2013 pada Juli mendatang seolah ada keharusan yang mendesak. Padahal, ”barangnya” masih kontroversial, perangkat pelaksanaannya pun belumlah siap.
”Tidak bisa ditunda dan harus dimulai tahun ajaran ini. Jika kita menunda, taruhannya besar terhadap masa depan generasi bangsa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh.
Implementasi Kurikulum 2013, menurut Mendikbud, penting dan genting terkait bonus demografi pada 2010-2035. Generasi muda Indonesia perlu disiapkan dalam kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Sikap pemerintah itu terasa berlebihan karena sejatinya pengaruh perubahan Kurikulum 2013 tidaklah sedahsyat yang dibayangkan. Asumsi-asumsi teoritisnya memang muluk, tetapi yang riil berubah dan mudah dilaksanakan hanya pengurangan jumlah mata pelajaran dan penambahan durasi pembelajaran di sekolah.
Sementara pendekatan tematik dan integratif bukanlah perkara baru, tetapi sekadar penegasan yang malah terkesan sebagai dalih ketiadaan IPA dan IPS dalam lis mata pelajaran SD. Gagasan tematik dan integratif tidak dirancang untuk pembaruan model pembelajaran siswa aktif (active learning) yang menyeluruh bagi semua mata pelajaran di setiap jenjang persekolahan seperti dikehendaki Undang-undang dalam delapan standar proses pendidikan.
Penerapan Kurikulum 2013 pada Juli atau kapan pun dalam format yang ada tampaknya tidak menimbulkan efek kualitatif yang signifikan bagi kemajuan bangsa. Tak ada faktor yang mendukung perubahan ke arah itu, apalagi jika berbagai kerancuan kompetensi inti dan dasar dengan materi dibiarkan kabur, dan kurikulum dilaksanakan sebelum matang. Selain itu, posisi kurikulum dalam suatu sistem pendidikan berada pada level operasional yang jalannya ditentukan oleh fondasi, visi, dan substansi pendidikan, yang di negeri ini justru bermasalah (Abduhzen M, Kompas 21 Februari 2013).

Era Profesionalisme Guru
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah memberikan landasan kuantitatif bagi peningkatan mutu guru, yaitu kualifikasi akademik, sertifikat pendidik, dan empat kompetensi: pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian. Kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran dengan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Peningkatan profesionalisme guru seyogianya ditandai berbagai aktivitas pembaruan metode dan kinerja guru.
Pembaruan metode pembelajaran dibutuhkan dan seharusnya dilakukan sejak lama dalam pendidikan kita. Pertama, karena adanya ”revolusi Copernican” dalam definisi pendidikan dari pembelajaran berpusat pada guru (teacher-centered) seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ke berpusat pada murid (student-centered) menurut UU No 20 Tahun 2003 sebagai revisi UU Sisdiknas.
Patut dicermati bersama, bahwa pembalikan paradigma ini bukan satu kelatahan, melainkan didasari pergeseran konsep interaksi belajar mengajar dari ”mengajar” (teaching) ke ”pembelajaran” (learning). Perkembangan ini selanjutnya menuntut perubahan cara pandang, pendekatan, dan metode pembelajaran yang lebih partisipatif dan dialogis. Jawabannya adalah pendekatan tematik-integratif sesungguhnya sesuai dengan paradigma baru ini, namun sayangnya tidak dielaborasi secara jelas hingga model pembelajaran.
Maka, selayaknya perlu dipahami bahwa, kurikulum pendidikan kita mau dibenahi bahkan diganti seribu kalipun. Namun tanpa diikuti pembenahan profesionalisme guru dan perubahan kesadaran. Hanya melihat potensi anak-anak sebagai robot yang hanya mampu dijejali pengetahuan yang berujung pada pengkhianatan pedagogik tetap akan menjadi sebuah kesia-siaan.

*) BEM FIP UNNES 2013